BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Logika mempelajari hukum–hukum, patokan–patokan dan rumus–rumus berfikir. Psikologi juga membicarakan aktivitas berfikir. Karena itu kita hendaklah berhati–hati melihat persimpangan dengan logika.
Berfikir adalah aktivitas yang dilakukan oleh seluruh manusia. Suatu aktivitas yang berhubungan erat dengan kerja akal. Akal manusialah yang menjadi salah satu alat menyerap pengetahuan, menemukan dan membedakan mana yang benar atau keliru.
Namun, manusia yang memiliki pengetahuan terbatas ataupun belum memaksimalkan fungsi akalnya terkadang terjebak kepada kekeliruan atau kerancuan dalam berpikir. Hal ini wajar, karena akal bekerja berdasarkan hukum-hukum universal tertentu. Ketidaktaatan terhadap hukum-hukum universal dalam berpikir, menjadikan seseorang melakukan kekeliruan atau kesalahan. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem, seseorang yang tidak menaati hukum berpikir dapatlah dikatakan sebagai seseorang yang tidak rasional (irrasional).
Orang kemudian mengenal hukum-hukum berpikir rasional yang universal itu dengan istilah Logika. Suatu istilah yang diperkenalkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Di dunia Arab (Islam), Logika kemudian populer dengan istilah Mantiq. Dan kekeliruan berpikir adalah salah satu bagian penting yang dibahas dalam studi tentang logika
Bagi setiap orang, apalagi kaum cendekiawan, menghindari melakukan kekeliruan dalam berpikir ini menjadi suatu keharusan. Sebab dari proses berpikirlah kehidupan, budaya, tradisi, bahkan sebuah peradaban dibangun. Bukankah peradaban yang berakar dan dibangun dari cara berpikir yang salah akan menyengsarakan manusia. Jalaludin Rahmat, cendekiawan muslim Indonesia itu bahkan menempatkan kekeliruan berpikir sebagai salah satu penghambat pertama dan utama proses rekayasa sosial dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan hakikat pikiran dan berpikir !
2. Menjelaskan macam-macam pikiran dan berpikir serta proses berpikir!
3. Menjelaskan arti kesalahan dalam berpikir serta jenis-jenis kesalahan berpikir !
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu membedakan arti dari pikiran, berpikir serta kesalahan dalam berpikir, mengetahui perbedaan antara pikiran dan berpikir serta jenis-jenis kesalahan dalam berpikir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pikiran dan Berpikir
Secara bahasa, hakikat memiliki arti kebenaran atau seesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Hakikat dapat didefinisikan sebagai inti atau jiwa dari segala sesuatu. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia.
• Hakikat Pikiran
Pikiran berasal dari kata dasar pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Boediono, 2005), Pikir artinya akal budi ; ingatan; angan-angan; kata dalam hati; kira, kemudian mendapat sufiks –an menjadi kata pikiran. Pengertian pikiran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3,2007 bahwa pikiran adalah akal budi atau ingatan. Sedangkan menurut Sri Utami (1992 :30), menyatakan bahwa berpikir adalah aktivitas mental manusia. Pikiran adalah proses pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain representasi utama. Proses tersebut dapat dikategorikan sebagai proses perhitungan (computational process). Pendapat lain mengatakan bahwa pemikiran adalah pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Pikiran adalah bisikan kata yang amat lembut.
• Hakikat Berpikir
Pengertian umum dari berpikir adalah perkembangan ide dan konsep. Pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berpikir sungguh-sungguh tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berjalan tanpa arah, tetapi akan diarahkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut dalam hal ini adalah pengetahuan.
Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.
Burhanuddin Salam berpendapat bahwa berpikir merupakan suatu bentuk kegiatan akal/ratio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujukan untuk mencapai kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manisfestasinya ialah : mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, mengolong-golongkan, membandingkan-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan lain-lain.
Menurut Khodijah dalam buku Psikologi Belajar, secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berfikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item.
Plato beranggapan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati. Sehubungan dengan pendapat Plato ini, ada yang berpendapat bahwa berpikir adalah aktivitas ideasional (Woodworth dan Marquis, dalam Suryabrata, 1995:54). Pada pendapat ini dikemukakan dua kenyataan, yakni:
1. Berpikir adalah aktivitas; jadi subyek yang berpikir aktif.
2. Aktivitas bersifat ideasional; jadi bukan sensoris dan bukan motoris, walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu; berpikir menggunakan abstraksi-abstraksi atau “ideas”.
Piaget menciptakan teori bahwa bahwa cara berpikir logis berkembang secara bertahap, kira-kira pada usia dua tahun dan pada sekitar tujuh tahun. Menurut Piaget, cara berpikir anak-anak sama sekali tidak seperti cara berpikir orang dewasa. Pikiran anak-anak tampaknya diatur berlainan dengan orang yang lebih besar. Anak-anak kelihatannya memecahkan persoalan pada tingkatan yang sama sekali berbeda. Perbedaan anak-anak yang lebih kecil dan lebih besar tidak terlalu berkaitan dengan persoalan bahwa anak yang lebih besar mempunyai pengetahuan yang lebih banyak, melainkan karena pengetahuan mereka berbeda jenis, dengan penemuan ini Piaget mulai mengkaji perkembangan stuktur mental. Berikut tahapan-tahapan perkembangan menurut Piaget:
1. Tahap Sensorimotor
Berlangsung dari kelahiran hingga usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan motorik fisik, yang disebut dengan sensorimotor. Pada permulaan tahap ini, bayi yang baru lahir memiliki sedikit lebih banyak daripada pola-pola refleks.
2. Tahap Praoperasional
Berlangsung kira-kira dari usia 2 tahun hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana antara informasi sensor dan tindakan fisik. Akan tetapi, walaupun anak-anak prasekolah dapat secara simbolis melukiskan dunia, menurut Piaget, mereka masih belum mampu untuk melaksanakan apa yang disebut “operasi”-tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik.
3. Tahap Operasional Konkret
Berlangsung kira-kira dari usia 7-11 tahun. Pada tahap ini anak-anak dapat melaksanakan operasi, dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret. Misalnya, pemikiran operasional konkret tidak dapat membayangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelasaikan suatu permasalahan aljabar, yang terlalu abstrak untuk dipikirkan pada tahap perkembangan ini.
4. Tahap Operasional Formal
Tampak dari usia 11-15 tahun. Pada tahap ini individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih abstrak, anakanak remaja mengembangkan gambaran keadaan yang ideal. Mereka dapat berpikir seperti apakah orang tua yang ideal dan membandingkan orang tua mereka dengan standard ideal ini. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang dapat mereka lakukan. Dalam memecahkan masalah, pemikir operasional formal ini lebih sistematis, mengembangkan hipotesis tentang mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian menguji hipotesis ini dengan cara deduktif.
B. Macam-Macam Pikiran dan Berpikir serta Proses Berpikir
• Macam-Macam Pikiran
Adapun macam-macam pemikiran yakni :
1. Pemikiran dangkal (al fikru al sathhy) yaitu melihat sesuatu kemudian menilainya tanpa adanya pemahaman. Misalnya seseorang yang langsung membeli sebuah lemari yang terlihat bagus dan menarik seleranya tanpa melihat jenis kayu serta tingkat keawetannya.
2. Pemikiran mendalam (al fikru al ‘amiq) yaitu melihat sesuatu kemudian memahaminya, setelah itu baru menilai. Misalnya seseorang yg ingin membeli lemari namun tidak hanya melihat tampilan luarnya yang bagus. Ia juga memperhatikan jenis kayu, pernis dan konstruksinya.
3. Pemikiran cemerlang (al fikru al mustanir) yaitu melihat sesuatu, lalu memahaminya dan memahami segala hal yang terkait dengannya, kemudian baru menilai. Dalam hal ini, seseorang yang ingin membeli lemari tidak hanya mencermati keindahan dan kualitasnya, namun ia mempertimbangkan kegunaan lemari tersebut baginya, ukuran ruangan yang akan ditempati juga kondisi keuangannya saat itu.
• Macam-Macam Berpikir
Berpikir banyak sekali macamnya. Banyak para ahli yang mengutarakan pendapat mereka.
Berikut ini akan dijelaskan macam-macam berpikir, yaitu :
1. Berpikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya, misal; penalaran tentang panasnya api yang dapat membakar jika dikenakan kayu pasti kayu tersebut akan terbakar.
2. Berpikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat, misal; dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan.
3. Berpikir autistik: contoh berpikir autistik antara lain adalah mengkhayal, fantasi atau wishful thinking. Dengan berpikir autistik seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis.
4. Berpikir realistik: berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata, biasanya disebut dengan nalar (reasoning).
Floyd L. Ruch (1967) menyebutkan ada tiga macam berpikir realistik, antara lain :
1. Berpikir Deduktif , deduktif merupakan sifat deduksi. Kata deduksi berasal dari kata Latin deducere (de berarti ‘dari’, dan kata ducere berarti ‘mengantar’, ‘memimpin’). Dengan demikian, kata deduksi yang diturunkan dari kata itu berarti ‘mengantar dari satu hal ke hal lain’. Sebagai suatu istilah dalam penalaran, deduksi merupakan proses berpikir (penalaran) yang bertolak dari proposisi yang sudah ada, menuju proposisi baru yang berbentuk kesimpulan (Keraf, 1994:57).
2. Berpikir Induktif, induktif artinya bersifat induksi. Sinduksi adalah proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomenafenomena yang ada. Karena semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran induktif, proses penalaran itu juga disebut sebagai corak berpikir ilmiah. Namun, induksi tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti oleh proses berpikir deduksi. Berpikir induktif ialah menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian (data) yang ada di sekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses berpikirnya adalah sintesis. Tingkatan berpikirnya adalah induktif. Jadi jelas, pemikiran semacam ini mendekatkan manusia pada ilmu pengetahuan. Tepat atau tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil secara induktif ini terutama bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil, yang mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil, makin representatif dan makin besar taraf validitas dari kesimpulan itu, demikian juga sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki.
3. Berpikir Evaluatif, berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat, 1994). Perlu diingat bahwa jalannya berpikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam faktor. Suatu masalah yang sama mungkun menimbulkan pemecahan yang berbeda-beda pula. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya berpikir itu antara lain, yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tersebut, situasi yang tengah dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman-pengalaman orang tersebut, serta bagaimana intelegensi orang itu.
Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah, 2006: 118) membagi dua jenis berpikir, yaitu;
1. Berpikir autistik (autistic thinking) yaitu proses berpikir yang sangat pribadi menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi.
2. Berpikir langsung (directed thinking) yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.
Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir, yaitu :
1. Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat tertentu.
2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasannya.
3. Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir menganai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu.
4. Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar kemiripannya
5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
6. Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan seringkali tidak logis.
Menurut De Bono (1989 dalam Khodijah, 2006:119) mengemukakan dua tipe berpikir, sebagai berikut:
1. Berpikir vertikal, (berpikir konvergen) yaitu tipe berpikir tradisional dan generatif yang bersifat logis dan matematis dengan mengumpulkan dan menggunakan hanya informasi yang relevan.
2. Berpikir pendek Berpikir lateral (berpikir divergen) yaitu tipe berpikir selektif dan kreatif yang menggunakan informasi bukan hanya untuk kepentingan berpikir tetapi juga untuk hasil dan dapat menggunakan informasi yang tidak relevan atau boleh salah dalam beberapa tahapan untuk mencapai pemecahan yang tepat.
• Proses Berpikir
Adapun proses berpikir yaitu :
1. Pembentukan Pengertian
Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
a. Menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya satu demi satu. Kita ambil manusia dari berbagai bangsa lalu kita analisa ciri-ciri misalnya, manusia Indonesia, ciri - cirinya: makhluk hidup, berbudi, berkulit sawo matang, berambut hitam, dan untuk manusia Eropa, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit putih, berambut pirang atau putih, bermata biru terbuka.
b. Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki.
b. Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri - ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki.
c. Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap cirri-ciri yang hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup yang berbudi.
2. Pembentukan Pendapat, yaitu menggabungkan atau memisah beberapa pengertian menjadi suatu tanda yang khas dari masalah itu. Pendapat dibedakan menjadi tiga macam:
a. Pendapat Afirmatif (positif), yaitu pendapat yang secara tegas menyatakan sesuatu, misalnya si Ani itu rajin, si Totok itu pandai, dsb.
b. Pendapat Negatif, yaitu pendapat yang secara tegas menerangkan tidak adanya sesuatu sifat pada sesuatu hal, misalnya si Ani tidak marah, si Totok tidak bodoh, dsb.
c. Pendapat Modalitas (kebarangkalian), yaitu pendapat yang menerangkan kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada suatu hal, misalnya hari ini mungkin hujan, si Ali mungkin tidak datang, dsb.
3. Pembentukan Keputusan, yaitu menggabung-gabungkan pendapat tersebut. Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada.
Ada tiga macam keputusan, yaitu:
a. Keputusan dari pengalaman-pengalaman, misalnya: kemarin paman duduk dikursi yang panjang, masjid dikota kami disebelah alun-alun, dsb.
b. Keputusan dari tanggapan-tanggapan, misalnya: anjing kami menggigit seorang kusir, sepeda saya sudah tua, dsb.
c. Keputusan dari pengertian-pengertian, misalnya: berdusta adalah tidak baik, bunga itu indah, dsb.
4. Pembentukan Kesimpulan, yaitu menarik keputusan dari keputusan-keputusan yang lain.Terdapat tiga macam kesimpulan, yakni:
a. Kesimpulan induktif, merupakan kesimpulan yang diambil dari berbagai pendapat khusus yang nantinya tertuju pada satu pendapat umum. Misalnya: Tembaga dipanaskan akan memuai, Perak dipanaskan akan memuai, Besi dipanaskan akan memuai, Kuningan dipanaskan akan memuai. Sehingga, dapat ditarik satu kesimpulan umum, yakni semua logam bila dipanaskan akan memuai.
b. Kesimpulan deduktif, merupakan kebalikan dari kesimpulan induktif yang mana penarikan kesimpulan berdasarkan pada hal yang umum kemudian tertuju pada hal-hal yang lebih khusus. Misalnya: Pendapat umum: Semua logam bila dipanaskan akan memuai. Sehingga untuk penarikan kesimpulannya, Tembaga dipanaskan akan memuai, Perak dipanaskan akan memuai, Besi dipanaskan akan memuai, Kuningan dipanaskan akan memuai.
c. Kesimpulan analogis, merupakan kesimpulan yang didapatkan dengan cara membandingkan atau menyesuaikan dengan berbagai pendapat khusus yang telah ada. Misalnya: Andi anak yang pandai dan Andi naik kelas. Penarikan kesimpulan analogisnya adalah Selly anak pandai, pastinya akan naik kelas.
Menurut Dewey (1933) dalam bukunya How We Think proses berpikir dari manusia normal mempunyai urutan berikut:
1. Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenal sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba
2. Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan
3. Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori
4. Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data)
5. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sedangkan menurut Kelly (1930) dalam bukunya The Scientific Versus The Philosophic Approach to The Novel Problem proses berpikir menuruti langkah-langkah berikut:
1. Timbul rasa sulit
2. Rasa sulit tersebut didefinisikan
3. Mencari suatu pemecahan sementara
4. Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar
5. Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental (percobaan)
6. Mengadakan penilaian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit
7. Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental tentang situasi yang akan datang utnuk dapat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Adapun cara berpikir filsafat yaitu:
1. Radikal, artinya berpikir sampai keakar-akarnya. Radikal berasal dari kata Yunani “radix” yang berarti akar.Dengan demikian berpikir secara radikal adalah berpikir sampai ke akar akarnya dan berpikir sampai ke hakekat, esensi atau sampai ke substansi yang dipikirkan.
2. Sistematis, sistematis adalah berpikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis. Sistematis juga bisa diartikan adanya hubungan fungsional antara unsur-unsur untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Kritis, berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis. Kritis adalah sikap yang senantiasa mempertanyakan sesuatu (berdialog), mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, hingga akhirnya di temukan hakikat.
4. Bebas, berpikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berpikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi. Sebaliknya bahwa berpikir bebas adalah berpikir secara terikat akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin pikiran itu sendiri dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.
5. Universal, berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum) dalam artian berfikir secara universal adalah berpikir tentang hal serta proses yang bersifat umum, dalam arti tidak memikirkan sesuatu yang parsial.
6. Rasional, sumber penggetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), selalu menggunakan nalar ketika berpikir atau bertindak atau kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk menalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri.
7. Logis, sikap yang digunakan untuk melakukan pembuktian, berpikir sesuai kenyataan atau kegiatan berpikir yang berjalan menurut pola, alur dan kerangka tertentu.Dalam berpikir membutuhkan ketrampilan untuk bisa mengerti fakta, memahami konsep, saling keterkaitan atau hubungan, sesuatu yang tersurat dan tersirat, alasan, dan menarik kesimpulan.
8. Konseptual, merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia, menyingkirkan hal-hal khusus, konkrit, individual, sehingga terbentuk konsep dan teori yang terumuskan secara obyektif, permanen dan universal.
9. Koheren, berpikir secara konsisten; tidak acak; tidak kacau; dan tidak fragmentaris, atau sesuai dengan kaidah berpikir logis, menganggap suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar.
10. Spekulatif, cara berpikir sistematis tentang segala yang ada, memahami bagaimana menemukan totalitas yang bermakna dari realitas yang berbeda dan beraneka ragam, atau disebut juga upaya mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berpikir dan keseluruhan pengalaman.
C. Pengertian dan Jenis-Jenis Kesalahan Berpikir
• Pengertian Kesalahan Berpikir
Dalam logika dikenal istilah strategems atau fallacies; yakni kesalahan argumentasi karena kerancuan menggunakan bahasa atau kekeliruan berpikir. Bila logika mengajarkan kepada kita tehknik berpikir kritis, strategems adalah teknik berpikir tidak kritis.
Yang dimaksud Fallacy (Kesalahan) adalah pemikiran yang menyesatkan. Menyesatkan nampaknya benar, tetapi sebenarnya tidak. Pengertian kesalahan juga dapat diterapkan pada setiap aksi akal budi yang tidak sah karena sebenarnya kesalahan itu disebabkan tidak mematuhi hukum–hukum atau aturan pemikiran kesalahan dalam berfikir ialah kekeliruan penalaran yang disebabkan pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan pengunaan bahasa serta penekanan kata–kata yang secara sengaja atau tidak pertautan atau asosiasi gagasan yang tidak tepat.
Kesalahan dalam berpikir (sesat pikir) ialah kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata-kata yang secara sengaja atau tidak, telah menyebabkan pertautan atau asosiasi gagasan tidak tepat.
Menurut Sumarsono, seasat piker adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, menyesatkan, suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan pemaksaan prinsip–prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Kesesatan penalaran terdapat pada siapa saja bukan kesesatan dalam fakta–fakta, tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang salah karena tidak dari premis–premis yang menjadi acuan.
• Pengertian Kesalahan Secara Informal
Kesesatan informal (informal fallacy) atau kesesatan material adalah kekeliruan yang terjadi akibat kekacauan konotasi atau denotasi term-term yang dipakai karena asumsi-asumsi yang salah atas fakta atau realitas. Kesesatan informal bisa juga karena ketidaktahuan terhadap permasalahan yang ada.
Kesalahan berpikir dapat terjadi dalam berbagai hal, antara lain sebagai berikut.
1. Definisi
Dalam membuat definisi yang tidak memperjelas (kata-katanya sulit, abstrak, negatif, dan mengulang). Misalnya, hukum waris adalah hukum untuk mengatur warisan. Definisi ini salah karena mengulang apa yang didefinisikan.
2. Penggolongan
a. Dasar penggolongan tidak jelas.
b. Tidak konsisten.
c. Tidak lengkap karena tidak bisa menampung seluruh fenomena yang ada.
3. Perlawanan
Kontraris, dikira hukumnya: jika salah satu proposisi salah maka yang lain tentu benar. Misalnya: jika semua karyawan korupsi dinilai salah berarti semua karyawan tidak korupsi pasti benar. Dalam contoh ini karena termasuk kontraris maka pernyataan semua karyawan tidak korupsi seharusnya bisa benar atau bisa salah.
4. Dalam mengolah proposisi majemuk
Menyamakan antara proposisi hipotesis kondisional dan proposisi hipotesis bikondisional. Misalnya, jika mencuri maka dihukum, berarti jika dihukum bisa karena mencuri atau yang lainnya.
• Faktor-Faktor Penyebab Kesalahan Dalam Berpikir
Ada beberapa hal yang mengakibatkan kesalahan berfikir dan itu sering tidak disadari orang, baik orang yang berfikir sendiri, maupun orang yang mengikuti buah pikiran itu. Ini pun dalam logika dirumuskan dan diberi nama. Sebelum kamu memajukan hal-hal yang betul-betul merupakan kesalahan berfikir, kami sebut dulu dua hal yang sebetulnya bukan kesalahan, tetapi sering membingungkan dan disalahgunakan, untuk membawa orang lain ke konklusi yang salah.
Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subyektif yang berlaku khusus atau obyektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan yang bertentangan dengan fakta. kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah antiseden yang tidak cukup, dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikannya suatu kecenderungan homogen, masih pula terdapat kebersamaan yang sifatnya kebetulan. Kesalahan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru. Kesalahan juga terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. Sebuah argumen yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “salah” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar.
• Jenis-Jenis Kesalahan Berpikir
Mundiri menyatakan dalam bukunya bahwa terdapat beberapa kekeliruan berpikir antara lain:
A. Kekeliruan Formal
1. Menggunakan empat term dalam silogisme (Fallacy of Four Terms)
Ini terjadi karena term penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya terdiri tiga term, seperti: “Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman, Menjual barang dibawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga dibawah tetangganya diancam dengan hukuman”.
2. Kedua term penengah tidak mencakup (Fallacy of Undistributed Middle)
Kekeliruan berfikir karena tidak satupun dari kedua term penengan mencakup, seperti: “Orang yang terlalu banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah dia banyak belajar”.
3. Proses tidak benar (Fallacy of Illicit Process)
Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi mencakup, seperti: “Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena itu ia bukan binatang melata”.
4. Menyimpulkan dari dua premis yang negatif (Fallacy of Two Negative Premises)
Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negatif. Apabila terjadi demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi, seperti: “Tidak satupun barang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah, jadi kesemua barang di toko itu adalah baik”.
5. Mengakui akibat (Fallacy of Affirming the Consequent)
Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipotetika karena membenarkan akibat kemudian membenarkan pula sebabnya, seperti: “Bila pecah perang harga barang-barang naik. Sekarang harga barang naik, jadi perang telah pecah”.
6. Menolak sebab (Fallacy of Denying Antecedent)
Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipotetika karena mengingkari sebab kemudian disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana, seperti: “Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah, jadi harga tidak naik”.
7. Bentuk disyungtif (Fallacy of Disjunction)
Kekeliruan berfikir tejadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternatif pertama, kemudian membenarkan alternatif lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternatif pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternatif yang lain, seperti: “Dia lari ke Jakarta atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung, berarti dia ada di Jakarta”. (Dia bisa tidak di Bandung maupun di Jakarta)
8. Tidak konsisten (Fallacy of Inconsistency)
Kekeliruan berpikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui sebelumnya, seperti: “Anggaran Dasar organisasi kita sudah sempurna; kita perlu melengkapi beberapa fasal agar komplit”.
B. Kekeliruan Informal
1. Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan karena membuat generalisasi yang terburu-buru)
Kekeliruan berpikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti: Dia orang Islam mengapa membunuh. Kalau begitu orang Islam memang jahat.
2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan karena memaksakan praduga)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan, seperti: “Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan bahwa isterinyalah yang melukainya dalam suatu percekcokan karena diketahuinya selama ini orang itu kurang harmonis hubungannya dengan isterinya, padahal sebenarya karena goresan besi pagar”.
3. Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan karena mengundang permasalahan)
Kekeliruan berpikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan dahulu kebenarannya, seperti:
Allah itu mesti ada karena ada bumi. (Di sini orang akan membuktikan bahwa Allah itu ada dengan dasar adanya bumi, tetapi tidak dibuktikan bahwa bumi adalah ciptaan Allah).
4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan karena menggunakan argumen yang berputar)
Kekeliruan berpikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut dijadikan sebagai premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya, seperti: “Sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi Omega kurang bermutu karena organisasinya kurang baik. Mengapa organisasi perguruan tinggi itu kurang baik? Dijawab karena lulusan perguruan tinggi itu kurang bermutu.
5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan karena berganti dasar)
Kekeliruan berpikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diruiunkan dari premisnya. Jadi mengambil kesimpulan melompat dari dasar semula, seperti: “la kelak menjadi mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya”.
6. Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas)
Kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut, seperti: “Pisau cukur ini sangat baik, sebab Rudi Hartono selalu menggunakannya. (Rudi Hartono adalah seorang olah ragawan, ia tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagusnya logam yang dipakai untuk membuat pisau cukur).
7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan karena mendasarkan diri pada kekuasaan)
Kekeliruan berpikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan: “Kau masih juga membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk di bangku perguruan tinggi, aku sudah lima tahun”.
8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan karena menyerang pribadi)
Kekeliruan berpikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya, seperti: “Dia adalah seorang yang brutal, jangan dengarkan pendapatnya”.
9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan karena kurang tahu)
Kekeliruan berpikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan argumentasinya, dengan sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar, seperti: “Sudah beberapa kali kau kemukakan alasanmu tetapi tidak terbukti gagasanku salah. Inilah buktinya bahwa pendapatku benar”.
10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan karena pertanyaan yang ruwet)
Kekeliruan berpikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti: “Jam berapa kau pulang semalam?; (Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi)”.
11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan karena alasan terlalu sederhana)
Kekeliruan berpikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti, seperti: “Kendaraan buatan Honda adalah terbaik, karena paling banyak peminatnya”.
12. Fallacy of Accident (Kekeliruan karena menetapkan sifat)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa sifat itu tetap ada selamanya, seperti: “Daging yang kita makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalah daging mentah, jadi hari ini kita makan daging mentah”.
13. Fallacy of Irrelevant Argument (Kekeliruan karena argumen yang tidak relevan)
Kekeliruan berpikir karena mengajukan argumen yang tidak ada hubungannya dengan masalah yang menjadi pokok pembicaraan, seperti: “Pisau silet itu berbahaya daripada peluru, karena tangan kita seringkali teriris oleh pisau silet dan tidak pernah oleh peluru”.
14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan karena salah mengambil analogi)
Kekeliruan berpikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar, seperti: “Saya heran mengapa banyak orang takut menggunakan kapal terbang dalam bepergian karena banyaknya orang yang tewas karena kecelakaan kapal terbang. Kalau begitu sebaiknya orang jangan tidur di tempat tidur, karena hampir semua orang menemui ajalnya di tempat tidur”.
15. Fallacy of Appealing to Fity (kekeliruan Karena mengundang belas kasihan)
Kekeliruan berpikir karena menggunakan uraian yang sengaja menarik belas kasihan untuk mendapatkan konklusi yang diharapkan. Uraian itu sendiri tidak salah tetapi menggunakan uraian-uraian yang menarik belas kasihan agar kesimpulan menjadi lain, padahal rnasalahnya berhubungan dengan fakta, bukan dengan perasaan inilah letak kekeliruannya. Kekeliruan pikir ini sering digunakan dalam peradilan oleh pembela atau terdakwa, agar hakirn memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, seperti pernbelaan Clarence darrow, seorang penasihat hukum terhadap Thomas I Kidd yang dituduh bersekongkol dalam beberapa perbuatan kriminal dengan mengatakan sebagai berikut:“Saya sampaikan pada anda (para yuri), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd tetapi menyangkut permasalahan yang panjang, ke belakang ke masa yang sudah lampau maupun ke depan ke masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya katakan pada anda bukan untuk Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi sebelum dunia menjadi terang dan pulang pada malam hari setelah langit diterangi bintang-bintang, mengorbankan kehidupan dan kesenangannya, bekerja berat demi terselenggaranya kemakmuran dan kebesaran, saya sampaikan pada anda demi anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.
C. Kekeliruan dalam penggunaan bahasa
Semantik berkaitan dengan ilmu kata, yaitu bagaimana kejadian dan pengertian sesuatu kata. Ambiguitas berasal dari bahas latin amb yang memiliki pengertian sekitar atau sekeliling, serta kata agere yang dapat diartikan sesuatu yang mendorong pikiran ke segala arah.
Kesalahan berfikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan sebagai berikut:
1. Menggunakan term ekuivokal.
Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti pohon yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar. Kesalahan dalam berfikir yang disebabkan oleh penggunaan term ekuivokal disebut sesat pikir ekuifokasi (fallacy of ekuifokation).
2. Menggunakan term metaforis
Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan dalam arti yang sebenarnya. Misalnya: pemuda adalah tulang punggung negara. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term metaforis disebut sesat pikir metaforisasi (fallacy of metaphorization).
3. Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata.
Ada kata-kata yang apabila aksennya dirubah, akan memiliki arti yang berbeda. Misalnya apel: jika tekanan terletak pada huruf “A” artinya ialah pohon / buah apel, tetapi jika tekanan terdapat pada suku kata “Pel” artinya ialah apel bendera, dan sebagainya. Kesalahan berfikir yang terjadi karena aksen disebut sesat fikir aksen (fallacy of accent)
4. Menggunakan konstruksi kalimat bermakna ganda.
Kalimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphiboly). Amfiboli terjadi apabila sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Contoh: Ali mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya! Kalimat itu bisa berarti Ali mencintai kekasihnya, dan saya juga mencintai kekasih Ali. Atau bisa juga berarti Ali mencintai kekasihnya, dan saya mencintai kekasih saya.
5. Kesalahan dalam komposisi (fallacy of composition)
Kekeliruan berpikir karena menetapkan sifat yang ada pada bagian untuk menyifati keseluruhannya, seperti: setiap kapal perang telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut negara itu sudah siap tempur. (Mundiri, 1996)
6. Kesalahan dalam pembagian (fallacy of division)
Kesalahan berpikir karena menetapkan sifat yang ada pada keseluruhannya, maka demikian juga setiap bagiannya, seperti: komplek ini dibangun di atas tanah yang luas, tentulah kamar-kamar tidurnya juga luas. (Mundiri, 1996)
Adapun kesalahan-kesalahan selain yang tersebut di atas antara lain:
1. Generelisasi tergesa-gesa.
2. Non sequitur (belum tentu).
3. Analogi palsu.
4. Dedukasi yang salah.
5. Pemikiran simplistik/sederhana.
6. Penalaran melingkar.
7. Kewibawaan palsu.
8. Tidak relevan.
• Strategi Menghindari Kesalahan dalam Berpikir
Kesalahan berpikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Seperti rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan. Maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar jeli dan cermat terhadap berbagai kesalahan dalam menalar, juga supaya kita mampu mengidentifikasi dan menganalisis kesalahan tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari penalaran palsu.
Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan relevansi, misalnya kita sendiri harus tetap bersikap kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, penelitian terhadap peranan bahasa dan penggunaannya merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan keanekaragaman penggunaan bahasa dapat kita manfaatkan untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari sebuah argumen. (E. sumaryono, 1999)
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat “halus”. Banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memiliki rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus dapat mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar